10.25.2012

Altruisme: Mencintai dan Memberi Tanpa Pamrih

Menyambung dari postingan sebelumnya tentang altruisme. Kata altruisme pertama kali muncul pada abad ke-19 oleh sosiologis Auguste Comte. Berasal dari kata yunani “alteri” yang berarti orang lain. Menurut Comte, seseorang memiliki tanggung jawab moral untuk melayani umat manusia sepenuhnya. Sehingga altruisme menjelaskan sebuah perhatian yang tidak mementingkan diri sendiri untuk kebutuhan org lain. Jadi, ada tiga komponen dlm altruisme, yaitu loving others, helping them doing their time of need, dan making sure that they are appreciated. 
Menurut Baston (2002) dalam (Carr, 2004), altruisme adalah respon yang menimbulkan positive feeling, seperti empati. Seseorang yang altruis memiliki motivasi altruistik, keinginan untuk selalu menolong orang lain. Motivasi altruistik tersebut muncul karena ada alasan internal di dalam dirinya yang menimbulkan positive feeling sehingga dapat memunculkan tindakan untuk menolong orang lain.
Alasan internal tersebut tidak akan memunculkan egoistic motivation (egocentrism). Dalam artikel berjudul “Altruisme dan Filantropis” (Borrong, 2006), altruisme diartikan sebagai kewajiban yang ditujukan pada kebaikan orang lain. Suatu tindakan altuistik adalah tindakan kasih yang dalam bahasa Yunani disebut agape. Agape adalah tindakan mengasihi atau memperlakukan sesame dengan baik semata-mata untuk tujuan kebaikan orang itu dan tanpa dirasuki oleh kepentingan orang yang mengasihi. Maka, tindakan altruistik pastilah selalu bersifat konstruktif, membangun, memperkembangkan dan menumbuhkan kehidupan sesama. Suatu tindakan altruistik tidak berhenti pada perbuatan itu sendiri, tetapi keberlanjutan tindakan itu sebagai produknya dan bukan sebagai kebergantungan. Istilah tersebut disebut moralitas altruistik, dimana tindakan menolong tidak sekadar mengandung kemurahan hati atau belas kasihan, tetapi diresapi dan dijiwai oleh kesukaan memajukan sesama tanpa pamrih. Dari hal tersebut, seseorang yg altruist dituntuk memiliki tanggung jawab dan pengorbanan yang tinggi.
Menurut Mandeville, dkk (dalam Batson&Ahmad, 2008), altruisme, yang memiliki motivasi dengan tujuan akhir meningkatkan kesejahteraan orang lain tidak mungkin terjadi (atau hanya khayalan). Menurut mereka, motivasi untuk semua hal didasari oleh egoistic. Tujuan akhir selalu untuk meningkatkan kesejahteraan pribadi “seseorang menolong orang lain hanya untuk keuntungan dirinya”. Tetapi hal tersebut dibantah o/ penelitian yg dilakukan oleh Baston&Ahmad (2008), yang menyatakan bahwa altruisme itu ada dan dapat dikembangkan dengan emphaty. Altruisme Menurut Myers (1996) altruisme adalah salah satu tindakan prososial dengan alasan kesejahteraan orang lain tanpa ada kesadaran akan timbal-balik (imbalan). Tiga teori yang dapat menjelaskan tentang motivasi seseorang melakukan tingkah laku altruisme adalah sebagai berikut :
  1. Social – exchange : Pada teori ini, tindakan menolong dapat dijelaskan dengan adanya pertukaran sosial – timbal balik (imbalan-reward). Altruisme menjelaskan bahwa imbalan-reward yang memotivasi adalah inner-reward (distress). Contohnya adalah kepuasan untuk menolong atau keadaan yang menyulitkan (rasa bersalah) untuk menolong.
  2. Social Norms: Alasan menolong orang lain salah satunya karena didasari oleh ”sesuatu” yang mengatakan pada kita untuk ”harus” menolong.”sesuatu” tersebut adalah norma sosial. Pada altruisme, norma sosial tersebut dapat dijelaskan dengan adanya social responsibility. Adanya tanggungjawab sosial, dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan menolong karena dibutuhkan dan tanpa menharapkan imbalan di masa yang akan datang.
  3. Evolutionary Psychology: Pada teori ini, dijelaskan bahwa pokok dari kehidupan adalah mempertahankan keturunan. Tingkah laku altruisme dapat muncul (dengan mudah) apabila ”orang lain” yang akan disejahterakan  merupakan orang yang sama (satu karakteristik).
Contohnya: seseorang menolong orang yang sama persis dengan dirinya – keluarga, tetangga, dan sebagainya.
Dari penjelasan di atas, Myers (1996) menyimpulkan altruisme akan dengan mudah terjadi dengan adanya :
  1. Social Responsibility, seseorang merasa memiliki tanggung jawab sosial dgn yg terjadi di sekitarnya.
  2. Distress – inner reward, kepuasaan pribadi – tanpa ada faktor eksternal.
  3. Kin Selection, ada salah satu karakteristik dari korban yang hampir sama .

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Yayasan Dharma Narada : Perum Cempaka Indah Blok IV Jl. Sunan Ampel No. 65 Karangpawitan Garut 44182 | | Peta Situs | Manifesto | Ketentuan dan Kebijakan